Oleh : Sutan Zaitul Ikhlas
Seorang ibu paruh baya di Jalan Sutan Syahrir Taliwang terpaksa tidak berjualan gorengan dalam beberapa hari ini. Ia kesulitan mendapatkan Gas LPG ukuran 3 Kg. Pangkalannya yang biasa ramai pengunjung mulai dari ojek, anak- anak sekolah dan pegawai swasta nampak sepi. Peralatan jualannya pun seperti penggorengan dan beberapa unit kompor gas tergeletak begitu saja diatas rak meja.
" Libur mas. Beberapa hari ini nggak dapat LPG. Di pangkalan kosong. Kalaupun ada di pengecer harganya terlampau mahal," kata ibu paruh baya itu.
Ia mengaku tidak mengetahui sebab musabab gas LPG 3 Kg itu sulit diperoleh. Padahal Kouta subsidi yang dijatahkan untuk wilayah Kabupaten Sumbawa Barat melebihi dari jumlah penerima.
Sebagai pedagang kecil, ibu paruh baya itu hanya bergantung pada kebutuhan gas. Persoalan kenapa sampai terjadi kelangkaan, yang bisa menjawab tentunya pemerintah daerah dan pihak Pertamina.
" Saya hanya berharap persoalan kelangkaan ini tidak dibiarkan terus menerus terjadi. Kami makan hanya dari keuntungan menjual gorengan. Kenapa justru di daerah lain keberadaan gas bersubsidi bisa aman terkendali," imbuh Ibu itu lagi.
Sebenarnya kuota Gas LPG bersubsidi untuk wilayah Kabupaten Sumbawa Barat mencapai kurang lebih 21.700 dan disebar ke sekitar 160 lebih pangkalan resmi. Jumlah yang sudah sangat melebihi dari jumlah penerima. Namun, entah ini menjadi "permainan" agen pendistribusi yang dipercaya Pertamina, justru diduga tidak menyalurkan sesuai jumlah kuota masing-masing pangkalan.
Celah permainan ini yang kemudian memunculkan spekulasi. Agen pendistribusi diduga bisa saja "memark-up atau mengurangi" jumlah tabung yang menjadi hak pangkalan. Semisal pangkalan A memiliki jatah 300 tabung tetapi saat disalurkan justru hanya mendapatkan 200 tabung, begitupun sebaliknya.
Nah, sisanya diduga bisa saja dijual kembali ke sejumlah pangkalan ilegal dengan harga diatas HET. Akibatnya terjadi kelangkaan.
Agen penyalur yang bermental rente ini sudah harus dihentikan aktifitasnya. Selain dugaan Markup dan pengurangan kuota pangkalan, juga di duga distribusi LPG subsidi dialihkan ke industri-industri. Industri menengah yang dulunya menggunakan LPG 12 kg, kini banyak beralih ke LPG bersubsidi, karena disparitas harga yang begitu jauh. Harga dinaikkan dari harga eceran yang diperbolehkan. LPG subsidi dijual kepada orang yang mampu membeli dengan harga tinggi. Biasanya, LPG distok, kemudian dijual dengan harga di atas HET.
Pemerintah daerah melalui instansi terkait dan pihak Pertamina sudah saatnya untuk turun mengecek atau melakukan operasi pasar. Pihak agen pun sangat perlu diminta klarifikasinya untuk mau membuka jumlah rincian Kouta dari masing masing pangkalan yang diajukan ke pihak Pertamina. Perlu juga dilakukan pencocokan data untuk penerima. Sebab di lapangan masih ditemukan banyaknya PNS atau keluarga mampu yang menerima LPG subsidi ini.
Konversi minyak tanah ke Liquefied Petroleum Gas (LPG) dimulai sejak tahun 2007. Program ini diterapkan dengan tujuan mengurangi konsumsi penggunaan minyak tanah, mengurangi penyalahgunaan minyak tanah bersubsidi, penghematan anggaran pemerintah untuk pemberian subsidi minyak tanah, serta menyediakan bahan bakar yang praktis dan bersih untuk rumah tangga dan usaha mikro. Pemerintah perlahan mencabut subsidi minyak tanah dan mengalihkan ke subsidi LPG tabung 3 Kg.
Melalui peraturan perundang-undangan, pemerintah bahkan telah menetapkan LPG tiga Kg sebagai barang penting yang hanya diperuntukkan bagi rumah tangga, usaha mikro, nelayan dan petani sasaran.(**)