Sepi Pembeli, Pedagang Pasar Utan Terus Merugi Minta Pemerintah Turun Tangan

Sebarkan:

Sumbawa Besar, KA.

Nestapa pedagang di pasar baru Utan Kecamatan Utan Kabupaten Sumbawa bakal terus berlanjut entah sampai kapan. Bagaimana tidak, omzet para pedagang terus menurun lantaran sepinya pembeli yang berkunjung ke pasar tradisional tersebut.

Akibatnya, para pedagang terus didera kerugian dan sebagian dari mereka memilih untuk menutup lapak dagangannya karena tidak sanggup lagi untuk bertahan.

Pantauan media ini, Jumat pagi (16/09/2022) seperti biasanya di sebuah pasar terdengar hiruk pikuk pedagang dan pembeli. Namun di Pasar baru tersebut aktifitas nampak biasa saja, di pelataran nampak sejumlah pedagang bakulan terlihat duduk menggelar daganganya dan hanya beberapa kios di lantai 1 dan 2 nampak buka menunggu pembeli. Sementara itu, di lapak samping kiri dan kanan sebagian besar pedagang tidak berjualan. 

Beruntung ada seorang pedagang keliling menyanyi (karaoke) menggunakan speaker Bluetooth dengan volume cukup keras di lantai 2 sedikit menghibur para pedagang yang harap harap cemas menunggu pembeli.    

Padahal pasca penertiban eks pasar lama oleh petugas gabungan, Senin (12/09/2022) seluruh pedagang sudah kembali menempati kios dan lapak yang sempat mereka tinggalkan sebelumnya. Namun pembeli di pasar baru tersebut masih saja sepi. Seperti diungkapkan Ibu Fatimah, pedagang bakulan, kendati semua pedagang sudah kembali berjualan di pasar baru setelah penertiban Senin lalu, namun pembeli masih saja sepi. 

Pedagang ubi kayu dan daun pisang ini berpendapat sepinya pembeli lebih disebabkan karena lokasi pasar yang cukup jauh dari pemukiman. Berbeda dengan pasar lama yang dinilai sangat strategis bisa ditempuh dari sejumlah desa disekitar dengan berjalan kaki.

Belum lagi jalan menuju ke pasar baru kondisinya masih memprihatinkan, dimana jalan tanah berbatu itu cukup menyulitkan pedagang dan pembeli. Bahkan, kerap tukang ojek dan cidomo sebagai alat transportasi ke pasar mengalami kecelakaan,  terjatuh dan cidomo mereka terbalik terutama ditanjakan.

“Parahnya lagi ongkos pulang balik ojek Rp 20.000 hanya untuk belanja  ke pasar.Kami pedagang lebih mahal lagi ongkosnya ditambah muatan barang Rp 30.000 pulang balik,” ungkapnya.

Biaya transportasi itu, lanjutnya, tidak sebanding dengan keuntungan yang ia dapatkan. Belum lagi ditambah biaya karcis retribusi dan uang setoran harian untuk pinjaman modal dagangannya.

“Keuntungan yang kami dapat tidak bisa menutupi semua biaya itu. Yang jadi masalah tidak ada pembeli, semua dagangan kami kering dan membusuk. Di pasar lama modal beli daun pisang Rp 300 ribu dan ubi kayu tapi laku semua, tapi di pasar ini kami jualan dengan modal Rp 100.000 saja tidak laku. Coba lihat sendiri di dalam karung dan di bak ini,” ungkapnya sambil memperlihatkan dagangan ubi kayunya yang sudah membusuk.

Disatu sisi, kata Fatimah, ia harus menghidupi keluarganya, namun hasil yang didapat tidak sebanding dengan biaya dan modal yang dikeluarkan.

“Jika kondisi terus begini, kami mau makan apa?, kemana lagi kami rakyat kecil ini mengadu. Seharusnya pemerintah membebaskan kami untuk mencari nafkah dimana saja, karena tugas pemerintah untuk melindungi dan mensejahterakan rakyatnya. Bukan sebaliknya memaksa untuk berjualan di tempat yang sepi pembeli,” tukasnya.

Senada diungkapkan Sumi, pedagang pisang sisir dan jeruk monte ini menuturkan, hasil jualan pisang yang ia dapat tidak sebanding dengan modal yang dikeluarkan karena sepinya pembeli. Berbeda jauh ketika ia berjualan di pasar lama, semua kalangan termasuk orang tua datang jalan kaki untuk berbelanja karena letaknya sangat dekat dengan kampung. Sehingga apapun yang dijual pasti laku dan pedagang mendapat untung cukup lumayan.

“Pasar sekarang ini terlalu jauh, ongkos ojek dan cidomo kesini mahal makanya orang malas datang. Kenapa pasar dipindahkan padahal tidak mengganggu arus lalu lintas karena dipinggir jalan kampung, coba lihat Pasar Alas dipinggir jalan besar kenapa tidak dipindahkan?. Boro boro kita dapat untung, balik modal saja susah karena sepi pembeli,” tandasnya.

Sementara itu, Murni pedagang lainnya mengaku terus merugi karena sepinya pembeli. Sehingga sejumlah pedagang lainnya lebih memilih menutup lapaknya atau berjualan keliling terutama penjual sayur dan ikan karena khawatir barangnya rusak (Basi).       

“Tolong kami rakyat kecil yang hanya mencari sesuap nasi, bagaimana lagi kami harus menyambung hidup. Sampai jam segini belum ada seribu rupiah bumbu yang laku. Kami ingin kembali berdagang ditempat yang lama,” harap Murni, sambil membayar setoran ke pegawai koperasi yang datang menagih.

Rauhun, pedagang bahan bumbu, menambahkan, kalau dulu di pasar  yang lama omzet jualannya sekitar Rp 6-7 juta sehari. Namun di pasar yang baru omzetnya anjlok dan paling banyak sekitar Rp 1 juta sehari.

“Omzet kami sekarang ini jauh sekali jika dibandingkan di pasar lama,  kami sangat berharap pemerintah memikirkan nasib kami dengan mencarikan solusi tempat berjualan yang ramai pembeli seperti dulu,” harapnya.

Harapan senada juga diungkapkan Dg Jenrawati, pedagang kelapa yang berharap kepada Pemerintah Daerah, terutama wakil rakyat asal Utan untuk memperjuangkan nasib para pedagang. Karena kondisi ekonomi para pedagang saat ini sangat sulit hanya bertahan sekedar bisa menyambung hidup.

“Kami berharap pemerintah segera mencarikan solusi terbaik, begitu juga yang mulia para wakil rakyat bantu kami yang sedang susah ini. Sebenarnya solusinya hanya satu, biarkan kami berdagang seperti dulu, ditempat yang ramai pembeli,” ujar Jenrawati dengan mata berkaca kaca menahan tangis.(KA-04)


     


 


   

 



Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini