Penasihat Hukum Terdakwa Kasus KUA Labangka Minta Kliennya Dibebaskan
Sumbawa Besar, KA.
Febriyan Anindita SH, selaku Penasihat Hukum Muhammad Firdaus, terdakwa kasus dugaan korupsi proyek Pembangunan Gedung Balai Nikah dan Manasik Haji KUA Labangka tahun 2018 silam, minta agar kliennya itu dibebaskan karena tidak bersalah sebagaimana tuntutan JPU pada sidang sebelumnya.
Hal itu diungkapkan Febriyan Anindita SH, pada sidang lanjutan perkara tersebut di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Mataram, Senin (29/06/2020).
Persidangan yang dipimpin hakim ketua Sri Sulastri, SH., MH, dan hakim anggota Fathur Rauzi, SH, MH dan Abadi, SH itu, berlangsung dengan agenda tunggal pembacaan pledoi (pembelaan) terdakwa Muhammad Firdaus melalui Penasihat Hukumnya, Febriyan Anindita SH, atas tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Sumbawa, Lalu Mohammad Rasyidi, SH.
Diungkap Febriyan, berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan, bahwa Kementerian Agama Kabupaten Sumbawa pada tahun 2018 mendapatkan alokasi anggaran kegiatan pembangunan Gedung Balai Nikah dan Manasik Haji tahun 2018 yang dananya bersumber dari Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) TA 2018, di mana Kanwil Kemenag NTB mendapatkan 11 Program kegiatan pembangunan Gedung Balai Nikah dan Manasik Haji di seluruh NTB, untuk Kemenag kabupaten Sumbawa sendiri mendapatkan 4 kegiatan yaitu pada KUA Sumbawa, KUA Unter Iwes, KUA Moyo Utara dan KUA Labangka dengan anggaran masing-masing kurang lebih 1.500.000.000,- (Satu Milyar Lima Rtaus Juta Rupiah).
Untuk melaksanakan kegiatan sebagaimana tercantum dalam DIPA tersebut Kepala Kantor Kementrian Agama Kabupaten Sumbawa menerbitkan surat keputusan Nomor: B.9c/KK.19.04/Kp.00/I/2018 tanggal 2 Januari 2018 tentang Penetapan KPA, PPK, PPSM, Bendahara DIPA Sekjen, DIPA Pendis, DIPA Bimas Islam, DIPA PHU, DIPA Kristen, DIPA Katholik Tahun Anggaran 2018 pada Kantor Kementerian Agama Kabupaten Sumbawa.
Berdasarkan fakta ini, kedudukan hukum Terdakwa Muhammad Firdaus ialah menjalankan tugas jabatan sebagai PPK dengan mengacu pada surat Penetapan dari Kuasa Pengguna Anggaran, jika dikaitkan dengan perkara ini, kewenangan dan Tanggung Jawab terdakwa Muhammad Firdaus selaku PPK disebutkan dalam Perpres No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa, diatur pula dalam UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Sehingga kami berpendapat bahwa Tuntutan Jaksa Penuntut Umum dengan landasan Tuntutan pada Pasal 2 UU Tipikor dalam uraian unsur “setiap orang” serta unsur “Melawan Hukum” sangat tidak relevan dan berlandas keadilan, kami selaku Penasehat Hukum terdakwa Muhammad Firdaus meminta dengan segala kerendahan hati Kepada Majelis Hakim Pemeriksa Perkara untuk dapat mempertimbangkan dengan arif dan bijaksana Penerapan “Unsur Melawan Hukum” kepada terdakwa Muhammad Firdaus dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya selaku PPK dalam Pembangunan Gedung KUA Labangka. Bahwa secara implisit penyalahgunaan wewenang in haeren dengan melawan hukum. unsur melawan hukum adalah genusnya sedangkan unsur penyalahgunaan wewenang adalah spesiesnya.
Dikatakan, atas keterlambatan pekerjaan yang sangat jauh dari kesepakatan yang tertuang di dalam Kontrak (terjadi deviasi), terdakwa Muhammad Firdaus telah menerbitkan 3 kali surat teguran dan 1 kali surat teguran keras, serta kondisi ini juga telah dikonsultasikan agar dilakukan pemutusan kontrak terhadap rekanan kepada atasan terdakwa yakni Kepala Kemenag Kabupaten Sumbawa (KPA), namun atas arahan Kepala Kemenag (KPA) selaku pejabat pemberi mandat agar dilakukan pemanggilan kembali dan dilakukan upaya-upaya persuasive dalam rangka penyelesaian pembangunan Gedung KUA Labangka secara serius oleh CV. Sawama Talindo Resource. Mengutip adagium hukum Volenti Non Fit Iniura; Nulla Iniura Est, Quae In Volentem Fiat; di mana terhadap tindakan yang didasari persetujuan maka sifat melawan hukum yang terdapat dalam perbuatan tersebut dihilangkan; adagium ini jika dimaknai dengan serangkaian perbuatan terdakwa MUHAMMAD FIRDAUS selaku penerima mandat tugas dari KPA senada juga dengan pasal 51 Ayat (1) KUHP yang menyatakan bahwa : “Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan penguasa yang berwenang, tidak dipidana.”
Bahwa keterangan Ahli Guru Besar Hukum Administrasi Universitas Mataram Prof. Dr. H. Gatot Dwi Hendro Wibowo, SH., M.Hum yang kami hadirkan di muka persidangan menerangkan pendapatnya bahwa berdasarkan rumusan normatif yang tercantum dalam Perpres No. 16 tahun 2018 dapat dikemukakan beberapa hal sebagai berikut, pertama, KPA memperoleh kewenangan pendelegasian dari PA, artinya tanggungjawab dan tanggunggugat dari pendelegasian tersebut beralih dari PA kepada KPA; kedua, PPK melaksanakan tugas pelimpahan dari PA dan KPA, di samping itu, PPK juga melaporkan pelaksanaan dan penyelesaian kegiatan kepada PA, KPA. Dari rumusan norma ini jelas PPK hanya melaksanakan mandat yang diberikan oleh PA dan KPA. Sebagai institusi yang melaksanakan mandat, maka tanggungjawab dan tanggunggugat terhadap hasil pekerjaan tetap melekat kepada pemberi mandat.
Bahwa Proses pengadaan barang dan jasa merupakan wilayah hukum perdata yang dituangkan dalam bentuk perjanjian/kontrak seperti yang dikatakan oleh Marwan Effendy Jaksa Agung Muda, maka aturannya masuk dalam buku ke III BW tentang Perikatan (Van Verbintenisen) maka secara otomatis Pasal 1320 KUHPerdata (BW) tentang sahnya persetujuan-persetujuan berlaku dalam kontrak pekerjaan ini yang dituangkan dalam kontrak Nomor 10000A/PPK-Bimas Islam/VII/2018 tanggal 19 Juli 2018 maka dalam kontrak ini Pasal 1338 KUHPerdata (BW) yang menyatakan bahwa kontrak berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya dengan demikian asas Pacta San Servanda (janji itu mengikat) juga harus dijunjung tinggi dan apabila pihak-pihak tidak memenuhi prestasi yang diperjanjikan maka berlaku Pasal 1238 KUHPerdata (BW) yaitu adanya kelalaian, maka akibat kelalaian tersebut salah satu pihak dinyatakan wanprestasi, maka pihak yang lalai mengganti biaya /kerugian tersebut.
Bahwa Penyedia telah memenuhi syarat dengan menyertakan dokumen jaminan pelaksanaan dari Asuransi resmi serta rekanan telah membayar denda keterlambatan kepada negara sebagaimana tertuang dalam SSBP (Surat Setoran Bukan Pajak) dengan kode 025.03.23.05.425811.420001. sebesar Rp. 6.202.790,- . Hal ini juga mengacu kepada Perpres No. 16 Tahun 2018, dalam Pasal 56 Ayat (2) menyatakan, “pemberian kesempatan kepada penyedia untuk menyelesaikan pekerjaan sebagaimana yang dimaksud pada Ayat (1), dimuat dalam adendum kontrak yang di dalamnya mengatur waktu peyelesaian pekerjaan, pengenaan sanksi denda keterlambatan kepada penyedia, dan perpanjangan Jaminan Pelaksanaan”.
Berdasarkan kontrak Nomor 100008/PPK-Bimas Islam/VI/2018 tanggal 19 Juli 2019 waktu pekerjaan pembangunan Gedung Balai Nikah Dan Manasik Haji KUA Kecamatan Labangka di Kabupaten Sumbawa Namor 10000A/PPK-Bimas Islam/VII/2018 tanggal 19 Juli 2018 waktu pekerjaan berakhir tanggal 1 Nopember 2018, akan tetapi sampai dengan akhir masa kontrak tersebut progres pekerjaan hanya mencapai 35,55%. Kontrak nomor 10000A/PPK-Bimas Islam/VII/2018 tanggal 19 Juli 2018 termasuk kontrak baku yang terdapat pembatasan asas kebebasan kontrak. Dalam pelaksanaan kontrak 10000A/PPK-Bimas Islam/VII/2018 tanggal 19 Juli 2018 dilihat dari penerapan teori melebur (opplosing theory) maupun konsep Privat-Administrative Contract. Sesuai teori melebur yang merupakan kontrak privat, hubungan antara “kontraktan” sebagai upaya menyelesaikan pekerjaan, bukan sebagai kewenangan pemerintah sebagai “kontraktan”, namun pada hubungan kontraktual didasarkan pada antara “hak dan kewajiban”. Berdasar konsep Privat-Administrative Contract, pemberian kesempatan bukan lagi dipandang pada “hak dan kewajiban” dalam berkontrak, namun wewenang pemerintah sebagai kontraktan dalam mengupayakan pekerjaan yang dilakukan oleh penyedia dapat selesai. Pemberian kesempatan penyelesaian pekerjaan dengan dasar surat pernyataan kontraktor serta jaminan pelaksanaan dari lembaga asuransi merupakan landasan dasar bagi PPK sebagai jaminan atas pelaksanaan pekerjaan. Sementara dalam konteks diskresi, dasar subtansial dari kewenangan diskresi adalah kepentingan umum atau kemaslahatan masyarakat (public good).
Sejalan dengan konsep tersebut maka wajib menjadi penilaian dasar dalam menilai serangkaian perbuatan terdakwa Muhammad Firdaus selaku PPK apakah perbuatan terdakwa selaku PPK telah terjadi perbuatan melawan hukum /penyalahgunaan kewenangan atau tidak, maka kami selaku penasehat hukum terdakwa berpendapat bahwa dalam mengambil tindakan diskresi telah dilakukan secara Proporsional, Kemaslahatan masyarakat pada hakikatnya adalah tujuan sah dari kekuasaan diskresi. Kepentingan umum atau kemaslahatan masyarakat sebagai tujuan diskresi juga dianut dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan dalam Pasal 22 Ayat (2) telah mengatur tujuan dari tindakan diskresi secara eksplisit, yakni meliputi:
a) Melancarkan penyelenggaraan pemerintahan; b) Mengisi kekosongan hukum; c) Memberikan kepastian hukum; dan d) Mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.
Hal ini terungkap di dalam fakta persidangan, bahwa terdakwa Muhammad Firdaus selaku PPK melakukan berbagai upaya yang berlandaskan hukum ketika KPA memberikan petunjuk untuk tidak dilakukan pemutusan kontrak, serangkaian tindakan terdakwa MUHAMMAD FIRDAUS berlandaskan pada ketentuan sebagaimana diatur dalam Perpres No. 16 tahun 2018 tentang Pemberian Kesempatan.
Sehingga ia selaku penasehat hukum terdakwa Muhammad Firdaus berpendapat bahwa Unsur pidana dari tindakan diskresi hapus atau hilang apabila diskresi dilakukan sesuai dengan tujuannya yaitu untuk kemaslahatan masyarakat atau kepentingan umum, tidak memberikan keuntungan kepada pejabat yang menggunakan diskresi dan tidak merugikan keuangan negara. Sehingga dalam konteks kerugian negara harus dillihat dari seluruh sistem hukum yang ada di Indonesia, yaitu Hukum Perdata, Hukum Administrasi Negara dan Hukum Pidana serta perkembangan hukum yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.
Terhadap Surat Tuntutan JPU yang pada intinya menjelaskan bahwa terdakwa Selaku PPK tidak mempedomani pasal 93 Perpres No. 54 tahun 2014 dengan tidak melakukan pemutusan kontrak. kami Penasehat Hukum terdakwa MUHAMMAD FIRDAUS berpendapat bahwa Perpres No. 54 tahun 2004 sudah tidak berlaku lagi semenjak Perpres No. 16 Tahun 2018 diundangkan pada tanggal 16 Maret 2018. Hal ini juga diperkuat oleh asas hukum “Lex Posterior Derogat Legi priori” (bahwa peraturan perundang-undangan yang baru mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang lama).
Bahwa Perpres No. 16 Tahun 2018 pada pasal 56 Ayat (1) mengatur tentang pemberian kesempatan kepada rekanan untuk menyelesaikan pekerjaan. Namun kami menyadari bahwa terdakwa selaku PPK tidak menuangkan masa perpanjangan pelaksanaan dalam dokumen adendum kontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 56 Ayat (2) Perpres No. 16 Tahun 2018 yang menyatakan, “Pemberian kesempatan kepada penyedia untuk menyelesaikan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), dimuat dalam adendum kontrak yang di dalamnya mengatur waktu penyelesaian pekerjaan, pengenaan sanksi denda keterlambatan kepada penyedia, dan perpanjangan Jaminan Pelaksanaan”.
Bahwa kami menilai adendum kontrak merupakan dokumen yang bersifat administratif, namun terdakwa selaku PPK menerapkan pasal 56 Ayat (2) Perpres No. 16 Tahun 2018 dengan telah mengantongi surat jaminan pelaksanaan dari Pihak Asuransi resmi yang berlaku hingga 30 Desember 2018 serta berbagai surat pernyataan kesanggupan pelaksanaan dari rekanan atas keterlambatan pelaksanaan sebagai output dalam adendum kontrak (Jaminan Pelaksanaan PT. Asuransi Kresna Mitra, Tbk, Nomor AKM- A038000) yang menyatakan Bahwa Jaminan Ini berlaku apabila : a. TERJAMIN tidak menyelesaikan pekerjaan tersebut pada waktunya dengan baik dan benar sesuai dengan kesalahan dalam kontrak., b. pemutusan kontrak akibat kesalahan TERJAMIN, sehingga kami Penasehat Hukum terdakwa MUHAMMAD FIRDAUS menilai bahwa perbuatan terdakwa yang tidak menuangkan perubahan pelaksanaan pekerjaan dalam adendum kontrak merupakan murni kesalahan adminsitrasi dan bukanlah suatu tindak pidana yang timbul dengan adanya niat jahat (mensrea). Bahwa ketentuan mengenai adanya kelalaian dari terdakwa MUHAMMAD FIRDAUS selaku PPK yang tidak melaksanakan ketentuan pada pasal 56 Ayat (2) Perpres No. 16 Tahun 2018, maka melalui nota pembelaan ini, kami Penasehat hukum terdakwa Muhammad Firdaus dalam Pembangunan Gedung KUA Labangka dengan segala kerendahan hati memohon kepada Majelis Hakim Pemeriksa Perkara untuk dapat mempertimbangkan ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 82 Ayat (1) Perpres No. 16 Tahun 2018 terkait sanksi yakni (1) Sanksi Administratif dikenakan kepada PA/KPA/PPK/Pejabat Pengadaan/Pokja Pemilihan/PjPHP/PPHP yang lalai melakukan suatu perbuatan yang seharusnya menjadi kewajibannya.;
Bahwa saksi Sahabuddin, ST selaku Direktur CV. Dhir Konsulindo Konsultan pada tanggal 19 Juli s.d. 5 Desember 2018, menerbitkan laporan harian pengawasan yang selanjutnya dibuatkan laporan bulanan untuk kegiatan Pembangunan Gedung Balai Nikah dan Manasik Haji KUA Kecamatan Labangka yang dilaksanakan oleh CV. Samawa Talindo Resource sebagai berikut:
a. Laporan Bulanan I (Satu) tanggal 15 Agustus 2018 menyatakan hasil pengawasan untuk bulan ke l (19 Juli-15 Agustus 2018) Realisasi Fisik 0,79% dari rencana 8,36%.
b. Laporan Bulanan II (Dua) tanggal 12 September 2018 menyatakan hasil pengawasan untuk bulan ke Il (16 Agustus-12 September 2018) Realisasi Fisik 4,82% dari rencana 30,4%.
c. Laporan Bulanan III (Tiga) tanggal 10 Oktober 2018 menyatakan hasil pengawasan untuk bulan ke III (13 September-10 Oktober 2018) Realisasi Fisik 23,88% dari rencana 61,13%.
d. Laporan Bulanan IV (Empat) tanggal 7 November 2018 menyatakan hasil pengawasan untuk bulan ke IV (11 Oktober-7 November 2018) Realisasi Fisik 37,07% dari rencana 82,85%.
e. Laporan Bulanan V (Lima) tanggal 5 Desember 2018 menyatakan hasil pengawasan untuk bulan ke V (8 November-5 Desember 2018) Realisasi Fisik 41,56% dari rencana 100%.
Bahwa dari laporan yang disampaikan oleh Konsultan Pengawas tersebut di atas terungkap bahwa konsultan pengawas tidak melaporkan kualitas mutu pekerjaan (mutu beton) sehingga cacat mutu tidak diketahui oleh terdakwa selaku PPK, tapi hanya laporan progres persentase pekerjaan. Sehingga kami Penasehat Hukum terdakwa berpendapat bahwa terdakwa selaku PPK yang notabene tidak mempunyai/memiliki/mengantongi keahlian sertifikasi teknis dibidang konstruksi sejak awal pekerjaan tidak mengetahui mutu beton dalam pekerjaan pembangunan Gedung KUA Labangka, karena mengenai tanggungjawab atas kualitas teknis pekerjaan merupakan domain dari konsultan pengawas sebagaimana tertuang di dalam SPMK Nomor : 1010D/PPK Bimas/VII/2018 sebagaimana tertuang dalam angka 4 tentang Tugas dan wewenang Konsultan Pengawas serta Kerangka Acuan Kerja Konsultan Pengawas Point II (Ruang Lingkup ) atas pengawasan pembangunan gedung KUA Labangka yang dilakukan oleh CV. Dhir Consulindo dengan metodologi sebagaimana tertuang dalam point VI Kerangka Acuan Kerja angka 1 yang berbunyi : Pelaksanaan Studi atau metode pelaksanaan harus dilaksanakan berdasarkan Penetapan : a. Standar Nasional Indonesia sesuai Instruksi Menteri PU nomor 04/IN/1991, tanggal 24 Juni 1991; b. Pedoman teknis bidang Pekerjaan Umum, sesuai dengan Keputusan Menteri PU nomor; 341/KPTS/191, Tanggal 30 September 1999.
Dengan demikian kami Penasehat hukum terdakwa selaku PPK menilai bahwa sangat tidak berdasarkan hukum dan tidak berkeadilan ketika Jaksa Penuntut Umum menilai perbuatan terdakwa MUHAMMAD FIRDAUS selaku PPK yang mengakibatkan rendahnya kualitas mutu beton gedung KUA Labangka telah melanggar ketentuan di dalam UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, melanggar ketentuan PP No. 36 Tahun 2005 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, serta melanggar ketentuan PP No. 73 tahun 2011 tentang Pembangunan Gedung Negara.
Menanggapi hasil perhitungan kerugian negara oleh BPKP Prov. NTB serta disandingkan dengan fakta persidangan serta keterangan saksi-saksi di bawah sumpah, kami selaku Penasehat Hukum terdakwa MUHAMMAD FIRDAUS menanggapi dan berpendapat bahwa Saksi Ahli yang dihadirkan didalam persidangan perkara ini tidak dapat memastikan dengan riil kerugian (actual Loss) berdasarkan adanya perbedaan data mengenai kwalitas mutu beton dari ahli konstruksi, sehingga penilaian BPKP terhadap nilai kerugian tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Bahwa kami Penasehat Hukum terdakwa MUHAMMAD FIRDAUS menanggapi tuntutan Jaksa Penuntut Umum terkait dengan Unsur menguntungkan diri sendiri/korporasi dalam surat tuntutan, bahwa uang sejumlah Rp. 207.000.000,- yang masuk ke rekening pribadi terdakwa MUHAMMAD FIRDAUS merupakan murni digunakan untuk kepentingan Pembangunan Gedung KUA Labangka, di mana pada saat persidangan pemeriksaan terdakwa MUHAMMAD FIRDAUS menerangkan dengan sejelas-jelasnya penggunaan dari uang sejumlah Rp. 207.000.000,- tersebut, bukan untuk kepentingan pribadi atau memperkaya diri sendiri maupun korporasi sebagaimana diuraikan dengan singkat oleh Jaksa Penuntut Umum dalam surat tuntutannya. Rincian Penggunaan uang disertai dengan bukti bukti sejumlah Rp.207.000.000,- pada persidangan telah diserahkan secara sah kepada Majelis Hakim serta Jaksa Penuntut Umum untuk dijadikan barang bukti dalam perkara ini, namun diabaikan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam perkara ini. Sehingga kami berpendapat jika Jaksa Penuntut Umum keliru membebankan kembali uang pengganti kepada terdakwa MUHAMMAD FIRDAUS dana sejumlah Rp. 207.000.000,. melalui nota pembelaan ini, dengan segala kerendahan hati kami selaku Penasehat Hukum Terdakwa meminta kebijaksanaannya kepada Majelis Hakim Pemeriksa Perkara untuk dapat mempertimbangkan dengan seksama bukti yang telah terdakwa sampaikan dimuka persidangan;
Pihaknya selaku Penasehat Hukum terdakwa MUHAMMAD FIRDAUS memohon dengan segala kerendahan hati kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini agar berkenan memutuskan dalam Amar Putusan sebagai berikut :
Menyatakan terdakwa Muhammad Firdaus. S.KH., M.PD tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “korupsi yang secara bersama-sama” sebagaimana yang didakwakan dalam dakwaan Primair, dakwaan Subsidair maupun Lebih Subsider;
Menyatakan terdakwa Muhammad Firdaus, S.KH., M.PD dibebaskan dari segala dakwaan (vrijspraak) Jaksa Penuntut Umum atau setidak-tidaknya dilepaskan dari segala tuntutan hukum (onstlag van rechtvervolging);
Selain itu. merehabilitasi nama baik, harkat dan martabat terdakwa Muhammad Firdaus, S.KH., M.PD pada keadaan semula dan membebankan biaya perkara kepada Negara.
Persidangan kasus ini kembali digelar Senin pekan depan dengan agenda mendengarkan vonis dari majelis hakim Tipkor.(KA-01)