Media Abal-Abal Tembus 70 Persen, Akhmad Munir : Tak Gampang Jadi Wartawan

Sebarkan:

Tete Batu, Lotim, KA .
 Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat melalui Ketua Bidang Pembinaan Daerah, Akhmad Munir,
mengaku prihatin karena di wilayah-wilayah di NTB masih banyak yang mengaku wartawan tetapi medianya tidak jelas.
“Sedangkan mereka datang ke dinas/instansi mengaku wartawan. Saya prihatin kepada mereka. Makanya saya mengimbau apabila ingin benar-benar jadi wartawan, ayo bergabung dengan media yang benar-benar jelas. Kalau tidak bisa belajarlah dengan yang senior,” kata nya dalam pembukaan Konferensi Provinsi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) NTB Periode 2020-2025 di Hotel Gren Ori Tete Batu Lombok Timur, Sabtu (29/02/2020).
Pembukaan Konferensi yang dihadiri, Gubernur NTB diwakili Karo Humas NTB, Sekda Lotim, dan sejumlah Wartawan Senior ini, Munir menyebut,  jumlah media yang tidak jelas masih banyak dibandingkan yang jelas medianya. Perbandingannya antara 70 persen banding 30 persen. Ironisnya, juga adanya perubahan paradigma jurnalis sebagai sebuah profesi menjadi pekerja.
“Sebagai profesi, tentu tidak semua orang bisa menjadi jurnalis karena harus melalui tahap pelatihan, seleksi ketat dan terukur. Perusahaan akan mengangkat calon jurnalis bila dinilai profesional dan sesuai dengan kebutuhan,” imbuhnya.
Namun ketika jurnalis hanya dipandang sebagai pekerja, maka siapapun yang bisa bekerja mudah menjadi jurnalis.
“Makanya jangan heran kalau akhir-akhir ini banyak tukang tembel ban secara tiba-tiba menjadi jurnalis atau seorang preman tiba-tiba menjadi jurnalis. Bahkan tukang sapu dan pembantu umum menjadi jurnalis. Fenomena ini terjadi karena adanya pergeseran paradigma dari sebagian perusahaan media," sebutnya.
Mirisnya lagi, jurnalis dadakan ini tambahnya, cenderung melampaui kapasitasnya sebagai pewarta dan menganggap semua berita yang ditulis harus diuangkan.
"Kadang juga tidak jelas antara dia sebagai jurnalis atau marketing iklan," cetusnya.
Kalangan birokrasi bahkan pejabat juga terkesan masih memberikan ruang. Apalagi kekuatan ‘intimedasi jurnalis’ terbilang cukup mumpuni, sehingga aparatur ‘bermasalah’ cenderung mengakomodir sekaligus memberikan ruang khusus kepada oknum jurnalis abal-abal ini.
“Kami sering menerima keluhan, mereka menggunakan cara menekan dan bahkan mengancam untuk mendapatkan iklan. Datang bergerombol dan masuk dengan mengabaikan etika,” jelasnya.
“Tindakan seperti itu sebenarnya bukan merupakan jati diri sebagai jurnalis, tapi lebih pada jati diri premanisme, dan hal ini tentu sangat merusak citra dan profesi jurnalis yang benar-benar menjalankan tugas-tugas jurnalistik secara profesional,” tambahnya.
Meski begitu, PWI kata dia, tidak bisa melarang keinginan mereka berperan untuk memiliki akses luas sebagaimana jurnalis ‘media-media arus utama’, karena bagaimanapun media sebagai salah satu elemen dan pilar penting negara.
Tidak hanya persoalan sistem dan media,  tidak sedikit yang menjadi jurnalis demi kepentingan usaha yang tengah digelutinya.
“Kelompok ini biasanya paling getol menolak upaya sistemik para profesional dalam bidang jurnalistik, seperti persyaratan UKW (Uji Kompetensi Wartawan) atau UKJ (Uji Kompetensi Jurnalis),” bebernya.
Dari itu, melalui Konferensi Provinsi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) NTB Periode 2020-2025 ini diharapkan akan terlahir pengurus yang punya komitmen meningkatkan peran aktif pers dengan selalu mendorong profesionalisme dalam dunia jurnalistik.
“Komitmen itu harus kita dukung bersama, karena sistem yang buruk tentunya akan menghasilkan produk yang buruk pula. Semoga kepengurusan PWI NTB kedepan dapat menjadi lebih baik,” demikian Munir.(KA-02}

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini