Kritik dan Sorotan Tajam untuk Iqbal-Dinda, Warnai Diskusi Publik yang Digelar Pojok NTB, Walhi NTB, dan Mi6

Sebarkan:

Mataram, KA.

Kritik dan sorotan tajam mewarnai Diskusi Publik bertema “Quo Vadis Kebijakan dan Strategi Pemerintahan Iqbal-Dinda Berbasis Pencitraan” yang digelar di Tuwa Kawa Coffee & Roestery, Kamis (19/6/2025) malam.

Diskusi Publik yang diinisiasi Pojok NTB, WALHI NTB, dan Lembaga Kajian Sosial dan Politik Mi6 tersebut menghadirkan pandangan bernas dari kalangan politisi, akademisi, aktivis lingkungan, hingga tokoh masyarakat.

Dari kalangan akademisi hadir Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mataram Prof.Dr Mansyur Afifi. Hadir pula Dekan Fakultas Hukum Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mataram Dr. Lalu Wira Pria Suhartana, dan Pengamat Sosial Politik Universitas 45 Mataram Dr. Alvin Sahrin.

Sementara itu, dari kalangan aktivis lingkungan, berbicara lantang Direktur Walhi NTB Amri Nuryadin. Sedangkan dari kalangan wakil rakyat ada Anggota DPRD NTB Suhaimi. Representasi tokoh agama dan tokoh masyarakat, hadir TGH. Najamuddin Mustafa.

Diskusi Publik dimoderatori Abdul Majid, dan sesi pembukaan dipandu Ridha Patiroi yang mendaulat Hendra Kusumah selaku Ketua Panitia Diskusi Publik untuk menyampaikan welcome speech.

Dalam pengantarnya yang sekaligus pemantik diskusi, Dewan Pendiri Mi6 tersebut menyoroti kebijakan lingkungan di NTB. Tak terkecuali sektor pertambangan, laut, dan hutan.

“Kebijakan ini yang kita tunggu. Mungkin dalam waktu 100 hari lebih pemerintahan Iqbal-Dinda ini, bisa kita nilai kebijakan itu apa sudah mengarah ke hal lebih bagus atau sebaliknya,” ucap Hendra.

Komunikasi Manipulatif

Sorotan terhadap citra kepemimpinan Gubernur NTB H Lalu Muhamd Iqbal dan Wakil Gubernur Hj Indah Dhamayanti Putri, sudah mengemuka sedari awal.

Didaulat berbicara pertama, Anggota DPRD NTB, Suhaimi, melontarkan pandangan filosofis yang segar dan tajam soal pencitraan dalam dunia politik. Ia mengajak peserta diskusi untuk merenungkan kembali makna asli dari kata "citra" dan bagaimana praktik pencitraan saat ini telah melenceng dari akarnya.

Pencitraan, kata Suaimi berasal dari kata ‘citra’, yang bisa juga diartikan cermin dari sesuatu yang jujur. Karena itu, politisi muda asal Lombok Tengah ini mengkritik bagaimana pencitraan politik hari ini lebih sibuk "memoles cermin" ketimbang memperbaiki sosok yang bercermin. Dalam pandangannya, banyak aktor politik yang hanya fokus pada tampilan luar, bukan pada substansi atau kinerja sebenarnya.

Menurut Suhaimi, pemerintah sebenarnya memiliki tugas mulia untuk menyampaikan apa yang telah dikerjakannya. Itu bagian dari fungsi sosialisasi. Namun, istilah pencitraan kadung sudah berkonotasi negatif. Mengingat komunikasi yang kerap manipulatif.

“Kalau dilakukan dengan jujur, mencitrakan kerja itu sah-sah saja. Tapi hari ini citra jadi semata soal membangun kesan, bukan menyampaikan kebenaran,” tandasnya.

Dalam konteks kepemimpinan Iqbal-Dinda, Suhaimi bahkan membandingkan kepemimpinan orang nomor satu dan nomor dua di NTB itu dengan Bupati Lombok Timur, H Haerul Warisin yang menurutnya lebih memiliki inisiatif, walaupun terkesan dipaksa oleh tim sukses.

“Justru Iqbal-Dinda, dipaksa oleh Mi6 dan Pojok NTB untuk melakukan sesuatu,” sindir politisi PDI Perjuangan ini.

Yang tak luput dari sorotan Suhaimi adalah peran dan dinamika yang dimainkan oleh apa yang ia sebut sebagai “tim sukses” dan “tim tidak sukses”. Saat ini, sejumlah perdebatan publik justru didominasi oleh rivalitas antar kelompok pendukung kandidat.

Suhaimi menyayangkan ketika peran-peran itu kemudian menjadi sumber pertentangan yang menghambat ruang kolaborasi dalam pembangunan. Padahal, demokrasi bukan hanya soal menang dan kalah. Karena setelah Pilkada usai pembangunan harus jadi milik bersama.

Suara Tokoh Masyarakat

Sementara itu, tokoh agama dan tokoh masyarakat TGH Najamuddin Mustafa menumpahkan kekecewaannya pada berbagai aspek pemerintahan Iqbal-Dinda. TGH Najamuddin menegaskan, kepemimpinan Iqbal–Dinda perlu dievaluasi secara serius. Ia menyebut gaya kepemimpinan saat ini terlalu egois dan terfokus pada pencitraan, tanpa memperhatikan urgensi kebutuhan rakyat.

Mantan Anggota DPRD NTB ini memberi contoh wacana perombakan jajaran direksi dan komisaris Bank NTB Syariah. Termasuk pernyataan kontroversial Gubernur dalam forum Musrenbang yang dihadiri Menteri Dalam Negeri terkait dirinya yang tidak punya rakyat dan tidak punya wilayah.

Gubernur Iqbal kata TGH Najamuddin, terlalu vulgar berkata-kata terkait Bank NTB Syariah. Gubernur mau membenahi Bank NTB Syariah, tapi sama sekali tidak mengerti sejarah Bank NTB Syariah. Akibatnya, bank daerah yang sudah baik, sudah sehat, oleh Gubernur Iqbal justru dibilang tidak sehat. 

“Yang tidak sehat itu pikirannya Gubernur. Bukan Bank NTB Syariah,” tandas ulama kharismatik Lombok Timur ini.

Ia juga menyinggung soal anggaran daerah yang tak kunjung dieksekusi dan menuding adanya potensi permainan anggaran. TGH Najamudin curiga, Iqbal sedang memainkan skema SILPA untuk dieksekusi pada APBD Perubahan. Dengan begitu, katanya, akan ada banyak “kue” yang akan dibagi.

Dalam forum ini, TGH Najamuddin juga menyentil pernyataan Iqbal yang menyebut dirinya "tidak memiliki wilayah dan rakyat" karena menjadi milik kabupaten/kota. Ia menyebut pernyataan tersebut bukan hanya tidak pantas, tetapi juga menunjukkan minimnya pemahaman seorang kepala daerah terhadap struktur pemerintahan.

“Kalau tidak punya wilayah dan rakyat, lalu untuk siapa APBD sebesar Rp 6,7 triliun itu disusun? Untuk siapa RPJMD dan rencana tata ruang wilayah itu dibuat? Padahal wilayah NTB itu dari Ampenan sampai Sape,” tandasnya lantang.

Kritik Guru Besar FE Unram

Guru Besar Universitas Mataram, Prof. Mansyur Afifi, mengkritik keras politik pencitraan yang menurutnya tidak menggambarkan substansi kepemimpinan. 

Ia menyoroti pentingnya strategi pencitraan dalam komunikasi politik modern, seraya mengingatkan bahwa tidak semua pencitraan akan berujung pada keberhasilan.

Prof. Mansyur menyinggung belum adanya dokumen resmi seperti RPJMD, sebagai rujukan ke mana arah kepemimpinan Iqbal-Dinda hendak dibawa. 

“Saya sudah cari, tapi RPJMD-nya belum jadi. Jadi agak sulit bicara soal arah. Kita bahas pencitraan saja dulu,” ucapnya.

Pengamat perbankan ini mengingatkan bahaya pencitraan yang gagal. Ia memisalkan pernyataan tentang kondisi Bank NTB Syariah yang dinilai jelek. Hal itu justru malah membuat citra dalam institusi juga buruk.

“Kalau menyampaikan bahwa kondisi Bank NTB jelek, itu sebenarnya merusak semangat kerja orang-orang di bank tersebut. Apalagi jika tidak sesuai fakta,” katanya.

Menurut Prof. Mansyur, strategi pencitraan yang dilakukan justru kontraproduktif. Hal ini mengingat kebijakan pembentukan Pansel Bank NTB Syariah yang justru mengundang kontroversi.

“Dulu narasinya transparan dan akuntabel. Tapi sekarang hasilnya justru dikritik oleh mereka sendiri karena ada interest-interest yang tidak diungkap,” katanya.

Sorotan Dekan FHISIP Unram

Sementara itu, Dekan FHISIP Unram, Dr. Lalu Wira Pria Suhartana, memberikan perspektif mendalam dari sisi hukum dan administrasi negara.

Dalam pemaparannya, Dr. Wira menegaskan bahwa dalam sistem pemerintahan, terdapat dua peran utama yang dijalankan oleh pemimpin daerah, yakni sebagai eksekutif dan sebagai administrator. 

“Sebagai eksekutif, kepala daerah sebagai pelaksana undang-undang bertanggung jawab melaksanakan peraturan perundang-undangan. Sementara sebagai administrator, pelaksana pemerintahan, kewenangannya itu berdasarkan diskresif,” terang Wira.

Ia mencontohkan kebijakan diskresi seperti efisiensi anggaran yang akhir-akhir ini ramai dibicarakan. Menurutnya, kebijakan seperti itu harus tunduk pada regulasi yang sudah ada, seperti Inpres atau pedoman teknis efisiensi.

Untuk menilai apakah sebuah kebijakan sah dan tepat, Dr. Wira menyebut perlu ada evaluasi berdasarkan tiga pilar utama: aspek wewenang, prosedur, dan substansi.

“Kalau kebijakan itu dibuat tanpa dasar wewenang yang sah, atau melanggar prosedur formal yang ditetapkan, apalagi tidak menyentuh substansi kebutuhan publik, maka kebijakan itu cacat. Bahkan bisa disebut menyalahgunakan kekuasaan,” ungkapnya.

Wira juga mengingatkan tentang bahaya kebijakan yang melampaui batas kewenangan, baik secara materi, waktu, maupun tempat. Dalam konteks ini, ia mengisyaratkan adanya potensi kesewenang-wenangan dalam beberapa kebijakan daerah NTB saat ini.

Salah satu kritik tajam disampaikan Dr. Wira terkait belum jelasnya arah pembangunan daerah. Ia menyayangkan belum tersusunnya RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah), yang seharusnya menjadi peta jalan kepemimpinan Iqbal–Dinda.

“Sampai hari ini saya belum menemukan RPJMD. Lalu bagaimana kita tahu arah pemerintahan ini ke mana? Tanpa dokumen itu, tidak ada basis untuk menilai keberhasilan program mereka,” ujarnya.

Meski demikian, ia menyebut ada tiga sektor penting yang bisa dijadikan indikator awal: kemiskinan, pertambangan, dan pariwisata. Dan menurutnya, dua dari tiga sektor itu sudah gagal.

“Pertumbuhan ekonomi NTB saat ini negatif, jadi bagaimana kita bisa klaim kemiskinan turun? Pertumbuhan yang minus justru jadi bukti bahwa masyarakat makin tertekan secara ekonomi,” jelasnya.

Wira juga menyoroti lemahnya arah kebijakan sektor pariwisata. Ia menegaskan bahwa NTB sebelumnya sudah memiliki identitas kuat sebagai destinasi wisata halal kelas dunia, terutama setelah meraih penghargaan World Halal Tourism tahun 2015–2016.

Namun, arah pembangunan pariwisata setelah itu dinilainya justru kabur dan tidak terencana. 

“Belakangan lagi malah muncul wacana medical tourism. Tapi tanpa landasan kuat, ini justru membuat arah pembangunan menjadi gamang dan latah,” kritiknya.

Padahal dari sisi regulasi, NTB sudah memiliki Perda tentang Pramuwisata dan Perda Wisata Halal, yang bisa dijadikan fondasi kebijakan. 

“Problemnya bukan di regulasi, tapi di ketegasan arah dan keberanian mengambil posisi strategis,” tambahnya.

Pandangan Pengamat Politik

Sedangkan Pengamat Sosial Politik Universitas 45 Mataram, Dr. Alvin Sahrin, menyoroti kecenderungan kekuasaan saat ini yang lebih fokus pada pencitraan ketimbang menjawab persoalan substansial masyarakat NTB. Menurutnya, pencitraan politik atau political imaging kerap muncul ketika substansi kebijakan gagal memberikan solusi nyata atas persoalan dasar rakyat. Dia mengingatkan bahwa politik citra tanpa kebijakan nyata hanya akan menipu publik.

“Ada sebuah pernyataan, refleksi yang ditampilkan dalam citra-citra politik itu biasanya fake, biasanya palsu, karena biasanya ada kegagalan-kegagalan yang disimpan oleh para aktor,” ujar Alvin.

Alvin mengkritik keras pendekatan pembangunan yang hanya menampilkan keberhasilan artifisial, seolah seluruh masalah NTB bisa diselesaikan dalam lima tahun masa jabatan.

“Padahal tidak ada satu pun dokumen strategis seperti RPJMD yang menunjukkan arah tegas kebijakan dan keberpihakan terhadap rakyat, khususnya terhadap isu kemiskinan, inflasi, hingga kerusakan lingkungan,” tambahnya.

Disoroti pula soal kesenjangan antara Pulau Sumbawa dan Lombok yang tak kunjung teratasi. Ia menyebutkan bahwa kesenjangan ini bisa memicu kecemburuan sosial yang berpotensi memperlemah kohesi daerah. 

“Pembangunan yang terkonsentrasi hanya di satu wilayah akan menimbulkan persepsi bahwa kebijakan tidak adil. Sentimen seperti ini bisa dimanfaatkan untuk kepentingan politik jangka pendek,” ujarnya.

Minim Perhatian Lingkungan

Sementara itu, Direktur WALHI NTB, Amri Nuryadin, membuka data yang mengejutkan soal kerusakan lingkungan yang meluas di NTB. Saat ini kata Amri, NTB memiliki kawasan hutan mencapai 1,071 juta hektare. Data hasil

investigasi Walhi NTB mencatat laju kerusakan hutan telah mencapai 60 persen dari luas kawasan atau sekitar 650.000 hektare. 

Saat ini pun, terdapat 578.307 hektare lahan di NTB masuk kategori kritis. Sementara yang potensial kritis ada 1,275 juta hektare. Total dari 1,965 juta hektare lahan, hanya 111.130 yang masuk kategori tidak kritis.

Belum lagi bicara tambang. Saat ini, Walhi menempatkan NTB sebagai provinsi Dalam Kubangan Tambang. Kabupaten Lombok Timur menjadi lokasi Galian C terbanyak di NTB.

“Kami menolak kereta gantung di Rinjani. Ada 355 IUP yang berdampak pada kerusakan lingkungan. Tapi tidak ada skema pemulihan,” tandas Amri.

Ia menambahkan, bahwa perluasan TPA Kebon Kongok dan tidak adanya regulasi pembatasan plastik menjadi tanda bahwa pemerintah daerah tidak memiliki arah kebijakan lingkungan yang progresif.

“Aksi nyata tidak muncul. Tingkat keterancaman lingkungan hidup di NTB sangat luar biasa,” tandasnya.

Diskusi Terbuka Mendidih

Memasuki sesi diskusi terbuka, berbagai suara kritis muncul. Direktur LOGIS NTB, M. Fihirudin menuding adanya konflik kepentingan dalam proses seleksi Bank NTB Syariah.

“Ketua timses nyalon komisaris utama tapi diduga sudah keliling ke calon pansel. Ada juga isu atau dugaan amplop coklat dan amplop hitam. Itu harus dibuka DPRD,” katanya.

Aktivis muda ini juga mengkritik sulitnya akses OPD ke gubernur yang harus melalui tim sukses. 

Di sisi lain, pendukung Iqbal-Dinda, Lalu Syawaluddin membela kepemimpinan keduanya. 

“Sebagai kader partai Gerindra, ini jalan kami untuk mewujudkan visi misi Iqbal-Dinda dan akan menjadi kado terindah untuk Presiden Prabowo Subianto,” ujarnya.

Namun, Ketua KNPI NTB Taupik Hidayat menunjukkan kekecewaan mendalam. Ia menyoroti pernyataan Iqbal yang mengklaim “tidak punya rakyat”.

“Depan Mendagri dia sebut Gubernur tidak punya rakyat, emang dia dipilih oleh siapa?” katanya dengan nada kecewa.

Ia juga mengungkap bahwa janji meritokrasi hanya jadi slogan, sementara tim sukses justru mengisi posisi strategis seperti di Baznas dan BUMD.

Aktivis perempuan, Ni Putu Virgi Eka, menyoroti peleburan Dinas Perempuan dan Anak ke dalam dinas lain sebagai bentuk ketidakberpihakan pada isu perempuan. 

“Walaupun wakilnya perempuan tapi keberpihakan ke perempuan tidak bisa dijamin,” katanya. Ia juga mengkritik lambannya penanganan isu transportasi udara yang berdampak pada sektor pariwisata.

Diskusi ini memperlihatkan tingginya harapan publik terhadap Iqbal-Dinda dan kini banyak kekecewaan yang mulai muncul. Dari isu pencitraan, ketimpangan meritokrasi, konflik kepentingan, hingga krisis lingkungan dan sosial, semua mencerminkan bahwa perjalanan kepemimpinan Iqbal-Dinda sedang diuji keras.

Beberapa pihak masih memberi ruang waktu, namun suara mayoritas menuntut langkah nyata, bukan sekadar narasi.

“Kata-kata mungkin bisa memukau, tapi hanya tindakan yang bisa menyelamatkan. Pemimpin daerah yang hanya pandai bicara akan kehilangan kepercayaan. Yang bertindak nyatalah yang akan dikenang,” kata Bambang Mei Finarwanto, Direktur Mi6 memberi penekanan di ujung Diskusi Publik.(KA-01)

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini