Oleh : Galan Rezki Waskita
Mahasiswa Universitas
Muhammadiyah Malang
Hampir di setiap daerah orang-orang kerap bersoal tentang pendidikan. Bahasannya, mulai dari kualitas guru, mutu pembelajaran hingga pemerataan sebaran tenaga pendidik. Guru honorer pun tak luput jadi perbincangan publik.
Kali ini sebagian ada yan
Perbedaan cara pandang setiap setiap orang memang
terjadi karena perbedaan ekspektasi terhadap kinerja penyelenggaraan
pendidikan. Tidak apa-apa juga, karena inipun menjadi bagian dari konsekuensi
demokrasi dimana setiap orang bebas bersuara
demi penegakan keberadaan hak-hak mereka.
Sebagai ikhtiar untuk memastikan peyelenggaran pendidikan
tetap berjalan, maka pada 10 Agustus
lalu Kemendikbud dan tiga kementerian lain yakni Kemendagri, Kemenag dan Kemenkes mengeluarkan
Surat Keputusan Bersama (SKB) sebagai komitmen mengawal pelaksanaan pendidikan
2020/2021. Di dalamnya, terdapat pengaturan tatacara pembelajaran berdasarkan
type zona penyebaran Covid-19. Bahwa
zona hijau dan kuning diperkenankan melakukan pembelajaran tatap muka,sementara
zona lainnya harus tetap menggunakan metode BDR dalam kegiatan pebelajaran.
Meskipun zona hijau dan kuning diperbolehkan
kegiatan belajar tatap muka tetapi harus dengan perstujuangugus tugas Covid-19setempat,
izin kepala daerah, sekolah, Komite Sekolah, dan orang tua siswa. Pelaksanaan pembelajaran di masa pandemi ini
dibuat fleksibel namun tetap mengutamakan mutu. Misalnya, Sekolah boleh
menggunakan kurikulum nasional tetapi juga
diizinkan menggunakan kurikulum darurat atau kurukulum alternatif dalam
melaksanakan kegiatan belajar mengajar.
Pemerintah juga menyentuh pada aturan kapasitas
ruangan dan Rombongan Belajar (Rombel)
siswa. Modul pembelajaran juga menjadi alat bantu yang turut disediakan.
Keputusan ini adalah cara yang digunakan untuk mengakomodir aspirasi semua
pihak, serta memfleksibelkan model pembelajaran. Dengan ini, guru dan segenap komponen lain
sekolah diberikan keleluasaan berkreatifitas untuk mengotimalkan kegiatan
pembelajaran.
Jika bertolak pada karakteristik budaya masyarakat
Sumbawa dalam pendidikan, maka kesulitan yang dialami dalam kondisi saat ini
bukanlah hambatan memperjuangkan pendidikan. Tetapi justru dimaknai sebagai
tantangan yang membuat semangat berjuangnya semakin menguat. Hal ini
lantaran masyarakat Sumbawa (tau Samawa)
adalah orang-orang yang sejatinya telah tertuntun oleh warisan semangat para
leluhur mereka.
Lihatlah dalam sejarah Kesultanan misalnya, Sumbawa
bahkan mengutus pemudanya untuk menuntut ilmu samapai ke tanah Arab. Walaupun,
kita sangat memahami bahwa realitas masa itu, transportasi dan informasi masih
sangat terbatas.
Ini artinya, kegiatan belajar bagi ‘tau Samawa’ telah diletakkan sebagai
bagian paling prioritas. Dasar ini tumbuh seiring cara berkeyakinan yang
mensyaratkan pengetahuan untuk memperoleh peningkatan derajat dimata Tuhan.Daerah
dengan populasi 453.797 jiwa ini telah berkembang dengan filososfi religius.
Dengan ini, terbentuklah masyarakat yang mampu meberikan pembinaan atas manusia
lainnya. Mereka adalah cerdikiawan yang bisa berbagi ilmu sebagaimana makna
kata Samawayaitu memberikan barang
bawaan termasuk juga di dalamnya memberikan ilmu pengetahuan kepada orang lain.
Dalam mengimplementasikan pola pendidikan di
masyarakat Sumbawa sangat dikenal istilah ‘Pameri’
dan ‘Pamendi’.‘Pameri’berarti
menyukai (suka) sedangkan‘Pamendi’adalah
cinta dan kasih sayang. Kedua istilah ini adalah cara pengungkapan sikap dalam
mendidik generasi. Jika orang tua terlalu memperturutkan kemauan
anaknya, maka orang tua tersebut diangggap sebatas mengutarakan rasa suka. Suka
kerap kali dimanifestasikan dalam bentuk pembiaran-pembiaran atas kehendak sang
anak dalam konteks apapun.
Sebaliknya jika orang tua bersikap tegas bahkan
sampai agak bersikap kasar terhadap
anaknya, maka sesungguhnya orang tua tersebut sedang menyalurkan rasa pemendi (cintanya) terhadap sang anak.
Cinta disajikan berupa kesulitan sebagai upaya
membentuk kepribadianmandiri, solutif dan inovatif. Sehingga dalam perjalanan
ke depan, sang anak tumbuh sebagai manusia yang kuat secara mental, fisik dan
intelektual. Kenyataannya, pendidikan memerlukan cinta di dalamnya. Sebaliknya, Pameri (rasa suka) hanya akan melahirkan generasi malas, cengeng
dan tidak produktif.
Jika menengok pada puluhan tahun yang lalu, saat
buku belum benar benar tersedia, siswa belajar dengan menggunakan batu tulis.
Saat orang-orang belajar diterangi cahaya lampu minyak, atau saat orang-orang
rela menyeberang sungai berjalan jauh menuju sekolah, sungguh sebuah pelajaran
berharga hari ini. Kita segera
membayangkan betapa sulitnya meraih pendidikan kala itu. Tetapi didikan Tuhan
melalui kendala yang pernah disajikan denganPamendi’telah
membuat orang-orang terbiasa dengan alternatif-alternatif, dan karena itu
mereka telah hidup sebagai manusia yang solutif.
Jika dibandingkan dengan kondisi hari ini, maka
masalah yang kita hadapi ini terlalu kecil. Kita merasakan beratnya pendidikan
di masa pendemi lantaran kita telah ‘dimanja’ oleh kebijakan-kebijakan yang
senantiasa membuat kita selalu nyaman.
Maka berhentilah mengeluh, sudahi
perbincangan dengan menikmati tahap demi tahap kondisi yang kita lalui. Bagi
masyarakat Sumbawa, kembalilah pada jati diri kita. Akar budaya Sumbawa
menuntun kita untuk setia pada semua keadaan.
Jika memang pemeritah tidak mengijikan pembelajaran
tatap muka, maka nikmatilah BDR atau belajar jarak jauh, karena itu adalah
pilihan terbaik. Bahwa kesulitan yang kita hadapi di tengah pandemi saat ini,
adalah bagian dari pamendi’yang akan
menuntun kita menjadi lebih kuat dan mandiri. Semoga!.